Assalamu’alaikum warohmatullahi wa barokaatuh…
Renungan ini, diawali dari suatu pertanyaan di dalam buku Fatwa Kontemporer, sekalian saya sharing di sini bagi siapa yang belum membacanya.
Ada pertanyaan seperti ini, yang saya baca:
“Bagaimana bila ada orang yang suka minum khamr tetapi ia juga mengerjakan sholat?”
Pertanyaan ini menarik untuk saya. Karena masih banyak juga yang masuk ke e-mail saya tentang hal yang kira-kira mirip dengan ini, yaitu wanita yang berpakaian muslim dan melaksanakan sholat tapi masih melakukan dosa.
Ini, benar merupakan sesuatu yang disesalkan, karena sesungguhnya sholat mencegah perbuatan keji dan munkar, lihat firmanNya:
“…dan dirikanlah sholat, sesungguhnya sholat itu mencegah dari perbuatan-perbuatan keji dan munkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (sholat) adalah lebih besar keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain..” (QS 29:45)
Meminum khamr, termasuk kemunkaran yang sangat besar karena membahayakan akal, kesehatan, harta dan kepribadian. Bila seseorang meminum khamr dan sadar kemudian berwudhu lantas mengerjakan sholat, maka diharapkan sholat yang dikerjakannya itu diterima Allah. Sehingga kelak satu hari sholat tersebut yang akan mencegahnya dari kemunkaran, dan dia akan takut mengulangi pebuatannya. Allah menghisab kebaikan serta keburukan yang dilakukan manusia sesuai dengan kadar masing-masing tanpa menguranginya sedikitpun.
“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat balasannya. Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat balasannya” (QS 99:7-8)
Maka sholat yang dikerjakannya tetap ditulis sebagai amal kebaikan dan meminum khamr (yang merupakan induk segala keburukan) juga tetap ditulis sebagai amal keburukannya juga. Jadi bukan maksud nya ‘percuma” sholat, justru diharapkan sholatlah yang akan menimbulkan rasa takut dan membuat pelakunya berhenti melakukan hal-hal buruk. Pisahkan kedua hal ini, perbuatan baiknya yaitu sholat, dan perbuatan buruknya yaitu meminum khamr.
Jika pertanyaannya: “Mana yang lebih baik, orang yang meminum khamr tetapi masih mengerjakan sholat atau orang yang meminum khamr dan tidak mau sholat?
Bisa dikatakan orang yang minum khamr tetapi masih mau sholat lebih utama dan lebih sedikit keburukannya daripada orang yang suka minum khamr tetapi tidak mau sholat. Karena bagaimanapun, orang yang tidak sholat ini tidak seperti orang-orang mukmin yang senantiasa memelihara sholat mereka. Dengan apa ‘kelak’ dia akan menutupi keburukan-keburukannya bila tidak memiliki sedikit juga amalan baik? Lagipula, sholat adalah amalan pertama yang dipertanyakan nanti. Dan ibadah wajib bentuk penyembahan kepadaNya yang Allah perintahkan bagi hambaNya.
Ini seperti komentar-komentar ‘miring’ tentang orang yang berpakaian muslim (-berjilbab) dan melakukan sholat, tetapi masih melakukan dosa. Komentar orang-orang lain sepertinya enteng sekali…“percuma aja berjilbab, jungkir balik melakukan sujud dan ruku’, tapi berbuat dosa juga iya”. Hmm, tahukah anda, kebanyakan yang melontarkan komentar justru yang tidak menggunakan jilbab bahkan tidak melakukan sholat dengan tertib. (Manakah yang lebih baik…??) Yang tidak melakukan sholat sudah jelas bagaimana hukumannya (bahwa dia berani melalaikan “kewajiban” dari Tuhannya) dan tentu dia sudah pasti tidak terjaga pula dari dosa, besar maupun kecil.
Hitungannya pun berbeda, yang melakukan sholat akan dihitung pahala amalannya…, dan yang tidak sholat, dihitung pula amalan buruknya ditambah amalan dosa-dosa kecilnya (yang sudah pasti ada). Jadi, jangan berbangga diri dulu dengan merasa lebih baik dari orang lain yang berbusana muslim tapi berbuat dosa, sedangkan kita tidak berbuat apa-apa untuk tabungan amalan kita. Kita sama-sama tidak tahu bagaimana dia (siapapun itu) didalam kamarnya, saat dia memohon ampunan dari Allah...dan bisa saja Allah sudah segera mengampuninya. Sedangkan kita yang tidak tahu apa-apa terus menerus menghakiminya dengan komentar yang tidak bertanggung jawab. Justru sebaiknya tiru dan ambillah perbuatan baiknya, jauhkan perbuatan buruknya…
Kembalikan pada diri: Apa kita juga sudah mendirikan sholat? Apa kita sudah pula berhijab? Apa kita sudah memiliki amalan baik lain yang bisa dijadikan andalan? Apa kita malah masih melakukan dosa juga walaupun dosanya berbeda?
Adapun orang-orang lain yang masih tidak sesuai dengan seharusnya (menurut anda) tetapi masih melakukan sholat, mungkin masih bisa diberi nasihat. Bila tidak, ya biarkan saja hitungan pahala dia dengan Tuhan…, bukan dengan kita. Urusan nilai rapor kita adalah perjuangan kita masing-masing saja hingga kita sampai pada hari perhitungan.
Sungguh jauh perbedaannya antara orang yang menghabiskan malamnya dengan lisan basah karena berdzikir, memohonkan ampunan kepada Allah, dengan orang yang menghabiskan waktu dengan tidak sempat mengingat Allah, melewati waktu sehari-harinya dengan bergunjing, memfitnah, adu domba, dan hal lain sebagainya (yang dia anggap “cuma” segitu saja dosanya). Atau yang extrim, bandingkan dengan pelaku yang mulutnya bau arak yang menjadikan hilang dan rusak akal pikirannya. Na’udzubillaahi min dzaalik… Wallahu ‘alam..
Wass, De-eS, Maret2014. Keprihatinan lain dari tercampurnya kebaikan dan keburukan
(dikutip sedikit dari Fatwa Kontemporer oleh DR Yusuf Qordhowi)
Tinggalkan komentar